IPAR ADALAH ULAR

 Aku termenung menatap langit-langit kamar bercat biru muda ini. Sesekali mataku menyapu setiap sudut ruangan tempat aku dirawat. Pikiranku menerawang jauh sambil terus mengelus perut buncitku.Kehamilanku baru memasuki usia 9 bulan,tetapi dari kemarin sore aku sudah merasakan kontraksi dan pendarahan.

Rasa sakit mulai datang lagi. Aku berusaha memanggil Mas Tora yang sedang berada di luar kamar. Beberapa menit yang lalu dokter memanggilnya. Mungkin karena suaraku terlalu lirih sehingga Mas Tora tidak mendengar panggilanku. Malah yang ku dengar suara Mas Tora yang sedang berdebat dengan seseorang. Suara seseorang yang sudah tak asing lagi ditelinggaku ya... suara itu suara Mbak Tari kakak iparku.

"Dengar Mbak Tari....berikan aku satu alasan mengapa aku tidak boleh memilih menyelamatkan Sasi istriku. Bukan berarti aku tak sayang anakku. Andai Sasi tidak ada pendarahan dan tidak harus segera dioperasi mungkin dokter juga tidak akan memberikan pilihan yang sulit bagiku. Tapi kenyataanya dokter memintaku segera memilih siapa yang harus diselamatkan. Apakah istriku atau anakku! "kata Mas Tora sambil sedikit berteriak.

"Kamu yang harusnya mendegarkanku Tora...berikan anakmu kesempatan untuk hidup dan melihat dunia ini. Orang tua Sasi juga sudah menunggu kelahiran cucu pertamanya. Mereka sangat menantikan kelahiran cucu kesayangannya. Jadi Mbak mohon kamu menyelamatkan anakmu."kata Mbak Tari memohon-mohon.

"Mertuaku juga menginginkan Sasi yang di selamatkan. Baru saja aku menghubungi mereka. Dan mereka juga dalam perjalanan menuju rumah sakit ini. Bukan mereka tak sayang cucunya...tapi perlu Mbak ingat, Sasi juga anak mereka satu-satunya. Seandainya aku memilih menyelamatkan anakku bagaimana dengan nya? Sangupkah anakku hidup tanpa seorang ibu? Mampukah dia tumbuh tanpa kasih sayang,perhatian dan cinta dari ibunya? Dan bagaimana denganku? Mampukah aku melanjutkan hidup tanpa Sasiku? Aku sangat mencintainya."Kata Mas Tora.

"Kamu jangan egois Tora...kamu tak perlu khawatir. Aku yang akan menjaga, merawat, dan membesarkan anakmu. Aku juga akan memberikan kasih sayang, perhatian dan cinta kepada anakmu. Sudah lama aku menginginkan kehadiran seorang anak di pernikahanku yang menginjak 13 tahun ini. Akan ku pastikan anakmu tidak akan kekurangan apa pun selama denganku. Apalagi hasil USG anakmu perempuan,sungguh sangat aku nantikan. Dan kamu, setelah Sasi pergi kamu bisa menikah dengan Risti cinta pertamamu. Risti sekarang sudah cerai dan sudah menjadi janda dengan satu anak laki-lakinya. Kemarin Risti menanyakan kabarmu dan kita mengobrol banyak. Kamu bisa memulai lembaran baru hidup bahagia dengan Risti. Bukannya kamu sangat mencintainya?  "Kata Mbak Tari.

"Mbak...bisa-bisanya mbak ngomong seperti itu disaat-saat seperti ini! Mbak Tari yang egois...Mbak Tari tidak memikirkan perasaan Sasi bila mendengar semua ini. Perlu Mbak ketahui aku sudah tidak memiliki perasaan apapun kepada Risti. Setelah Risti meninggalkanku perasaan cinta itu juga sudah sirna. Yang aku cintai hanyalah Sasi istriku dan tak ada yang lain,Bagiku Sasi tak tergantikan. Jangan pernah mbak ulangi kata-kata itu lagi. Lagi pula mbak juga tidak bisa menggantikan posisi Sasi di hati anakku. Tidak ada yang tulus mencintai anakku selain ibunya sendiri. "kata Mas Tora dengan emosi.

"Tora....kenapa kamu tidak mendengarkan nasehat Mbakmu ini...kita sudah tidak punya orang tua dan Mbak mu ini adalah pengganti orang tua kita yang sudah tiada. Kamu mau mendengarkan nasehat siapa lagi Tora. "Kata Mbak Tari.

"Aku tidak perlu mendengarkan nasehat Mbak lagi....bukannya solusi yang aku dapatkan tetapi emosi. "Kata Mas Tora sambil berlalu meninggalkan Mbak Tari seorang diri.

Mas Tora berjalan memasuki kamarku. Dengan wajah yang memerah penuh amarah dia mendekatiku dan mengelus rambutku penuh kasih sayang. Kutatap wajah tampannya dan perlahan dia mulai tersenyum dan kini tangannya pindah mengelus perut buncitku.

"Kok nangis?....sakit lagi ya?...mau Mas panggilin dokter?. "kata Mas Tora sambil mengusap pipiku.

"Iya Mas...ini sakit sekali tapi lebih sakit hati ini mendengar ucapan Mbak Tari tadi. "kataku sambil terisak.

"Apa kamu mendengar semuanya Sasi?kalau kamu mendengarnya ngak usah kamu masukkan dalam hati. Memang mulut Mbak Tari itu ngak ada rem nya. Dia suka asal bicara.Mas yakin kamu dan anak kita selamat."Kata Mas Tora dengan suara lembutnya.

"Aku tak menyangka Mas...Mbak Tari yang selama ini baik padaku bisa bicara seperti itu. Ku kira Mbak Tari benar-benar menganggapku sebagai adiknya sendiri. Teryata dibelakangku dia bisa bicara seperti itu. Tapi Mbak Tari ada benarnya,Memang lebih baik anak kita yang kamu selamatkan Mas....berikan kesempatan pada anak kita untuk hidup. Aku sudah pernah hidup selama 24 tahun, sedangkan anak kita harus bisa hidup lebih lama lagi. Tolong selamatkan anak kita Mas"kataku sambil memohon.

"Kamu ngak boleh ngomong seperti itu Sasi...Mas yakin kalian berdua pasti selamat. Yakinlah hidup mati seseorang itu di tangan Tuhan. Yang terpenting sekarang kamu banyak-banyak berdoa dan tenangkan pikiranmu untuk bersiap-siap operasi. Mas akan menemui dokter sebentar. Orang tuamu juga sebentar lagi akan datang. Percayalah padaku semua akan baik-baik saja. "Kata Mas Tora sambil tersenyum.

"Baiklah Mas"kataku mengangguk.

Lima hari setelah operasi aku sudah diperbolehkan pulang. Aku sudah tak sabar ingin mengunjungi makam putri kecil kami. Dan dipusara yang masih merah ini aku berdoa,tak terasa butir-butir bening membasahi pipi. Rasa sesak didada membuatku tak dapat lagi membendung air mata yang seolah-olah berlomba-lomba berlarian turun. Masih terbayang wajah cantik Maysia Sasi Mahendra. Nama yang sangat cantik untuk putri kami yang cantik. Tangan halus Mas Tora mengusap bahuku pelan. Pelukan hangatnya seolah-olah menjadi sumber kekuatan untuk menghadapi setiap ujian. Kata demi kata yang keluar dari mulut Mas Tora adalah obat penenang bagiku. Aku sangat beruntung memilikinya.

Sudah dua minggu aku kembali ke rumah ini. Dan sudah dua minggu pula aku tidak pernah bicara sepatah katapun dengan Mbak Tari,jangankan bicara bertegur sapa pun tidak. Padahal kita tinggal bersebelahan. Aku heran mengapa Mbak Tari yang marah,harusnya aku yang marah. Belum hilang rasa sedihku karena kehilangan anak,Mbak Tari malah menambah rasa sedihku. Aku sudah berusaha menyapanya tetapi dia diam saja.

"Mas...kenapa Mbak Tari masih marah? Aku ngak enak sama tetangga kalau terus-terusan tidak bertegur sapa dengannya.Aku jadi kepikiran terus"kataku penuh tanda tanya.

"Biarkan saja...harusnya kita yang marah. Mungkin Mbak Tari tidak terima kalau kamu yang selamat. Dia sangat menginginkan anak kita. Tadi pagi mas ketemu sama dia dan dia menyuruh Mas untuk cepat-cepat memiliki momongan lagi dan jangan menundanya. Enak saja dia ngomong seperti itu. Apa dia tidak memikirkan kondisimu pasca operasi. Mbak Tari itu usianya jauh dariku, tapi sifatnya masih kekanak- kanakan. "kata Mas Tora.

"Sudahlah Mas...bagaimanapun dia kakakmu dan dia juga saudaramu satu-satunya. Kita tidak boleh memutus tali silaturahmi dengannya. "kataku.

"Bukannya aku ingin memutus tali silaturahmi dengannya. tapi aku hanya tak suka dengan sifatnya. Kamu tak perlu terus memikirkannya nanti kamu bisa sakit dan kamu tidak perlu terus -terusan bersedih memikirkan anak kita. Sekarang lebih baik kamu fokus lagi ke outlet bungamu yang akhir-akhir ini kamu abaikan dan kembalilah merangkai bunga di sana supaya kamu tidak larut dalam kesedihan karena hidup harus terus berjalan"kata Mas Tora.

"Baiklah Mas daripada aku dirumah terus dan banyak pikiran lebih baik aku mengurusi lagi outlet bungaku yang sudah sebulanan tidak aku datangi"Kataku sambil tersenyum.

Setahun sudah aku dan Mbak Tari tidak bertegur sapa. Aku berusaha selalu menyapanya, tetapi seperti biasa dia cuek-cuek saja. Selama setahun ini pula mas Tora dan mbak Tari sering berselisih paham bahkan sampai bertengkar hebat. Penyebabnya apa lagi kalau bukan mbak Tari yang sering ngomongin aku ke tetangga, Mbak Tari selalu menjelek- njelekkan ku.Sebenarnya aku tak pernah ambil pusing karena aku tak punya waktu untuk mengurusi hal-hal seperti itu, karena waktuku sudah habis untuk mengurusi outlet bungaku yang semakin ramai karena banyak orderan. Tetapi tetap saja mas Tora yang tak terima isterinya jadi bahan ghibahan. Alhasil mereka sering sekali adu mulut. Entah sampai kapan mbak Tari akan terus memusuhi kami.

Hari ini malam minggu, aku dan Mas Tora berencana nonton dibioskop. Aku sengaja pulang lebih awal untuk menikmati kencan romantis dengan suamiku. Tapi rencana kencan gagal, Tiba-tiba kepalaku pusing dan aku mual dan muntah-muntah. Mas Tora panik dan segera membawaku ke rumah sakit. Setelah dokter memeriksa ku dan menanyakan banyak hal dan melakukan tes ini itu akhirnya dokter menyatakan bahwa aku hamil. Tentu saja kami sangat bahagia dan sangat bersyukur.

Aku tak menyangka aku hamil. Mungkin karena saking sibuknya sampai-sampai aku tak ingat kapan terakhir kalinya aku haid. Karena saking bahagianya mas Tora tak henti hentinya bersyukur. Apalagi kehamilan yang ke dua ini adalah hamil anak kembar. Aku dan Mas Tora sepakat tidak akan memberi tahu siapapun kecuali Ayah dan Ibuku. Tak terkecuali mbak Tari. Kita akan memberitahunya pas acara pengajian 4 bulanan.

Tiga hari sebelum acara pengajian aku dan mas Tora mendatangi rumah mbak Tari untuk mengundangnya ke acara tersebut. Aku tak menyangka teryata respon mbak Tari diluar dugaan. Ia sangat senang dan langsung memelukku dan mengucapkan selamat dan antusias untuk datang. Bahkan dia dengan suka rela membantu kami menyebarkan undangan ke tetangga sekitar rumah. Ia juga paling semangat ketika acara pengajian tiba. Mbak Tari paling sibuk dan melarangku untuk mengerjakan ini itu.Aku hanya diminta duduk manis dan tidak boleh kecapekan.

Aku senang dengan perubahan sikap mbak Tari. Selama kehamilanku dia jadi perhatian dan sering datang ke rumah untuk mengajakku rujakan. Dia juga sering memasak makanan kesukaanku. Aku sangat bersyukur berkat kehamilan ini mbak Tari tidak lagi memusuhiku. Apalagi menjelang persalinan tidak hanya Mas Tora yang semakin perhatian tetapi mbak Tari juga. Mereka juga dari hari ke hari semakin akur dan kompak. Sungguh pemandangan yang menyenangkan dan membahagiakan.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa pula hari ini adalah hari persalinanku. Segala sesuatu begitu dimudahkan oleh yang diatas. Aku melahirkan bayi kembar cowok dan cewek yang kami beri nama Maas Sasi Mahendra dan Maisa Sasi Mahendra. Selain sehat dan menggemaskan mereka berdua juga tampan dan cantik. lengkap sudah kebahagiaan kami.

Setiap hari mbak Tari datang ke rumah. Kelihatanya mbak Tari sangat menyayangi Maisa. Setiap hari pula dia datang menimang-nimang, menggantikan popok dan memandikan Maisa. Mbak Tari bahkan menyuruhku untuk fokus merawat Maas saja. Tapi naluri seorang ibu tetap tidak bisa bila harus condong ke satu anak,aku tetap adil merawat dan memberi perhatian serta kasih sayang kepada si kembar. Tak akan pernah aku membeda-bedakannya.

Hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Tak terasa si kembar tumbuh dengan sehat dan semakin menggemaskan. Seperti biasa mbak Tari setiap hari datang ke rumah. Dan seperti biasa pula dia sibuk dengan Maisa. Dia memperlakukan Maisa seolah-olah anaknya sendiri. Kadang aku sampai tidak di perbolehkan mengendong dan menyusui Maisa.

"Udah lah Sasi Maisa jangan sering di gendong, biar aku aja, kamu fokus aja ke Maas"kata Mbak Tari.

"Tapi mbak... Maisa rewel lho, ngantuk dan haus biar aku susui sambil tiduran supaya lebih nyaman, lagi pula Maas udah sama Mbak Sani. Tuh lihat Maas juga anteng sama Mbak Sani".jawabku.

"Kamu tu jangan terlalu percaya ke Mbak Sani, bagaimanapun Mbak Sani orang lain. Nanti kalau Maas ada apa-apa gimana....sini biar aku susuin Maisa pakai botol aja sambil aku kelonin. Buruan kamu cari Maas. "kata Mbak Tari.

"Mbak...aku tu udah percaya sama Mbak Sani. Mbak Sani sudah lama ikut kita. Bahkan jauh sebelum ibu meninggal. Dulu Mas Tora ketika masih kecil juga dirawat sama Mbak Sani juga kan? Lagi pula Maisa juga anakku kan Mbak. Aku harus adil. Aku juga jarang gendong Maisa kalau ada mbak Tari, Mbak Tari selalu melarangku"kataku.

"Terserah kau saja lah Sasi...cepek debat sama kamu"kata Mbak Tari dengan mulut cemberut dan langsung nyelonong pergi.

Setelah perdebatan itu Mbak Tari lebih banyak diam. Setiap hari masih sering datang ke rumah. Dia datang pagi untuk menjemput Maisa dan membawanya pulang ke rumahnya.Sore hari baru memulangkannya. Terkadang malah nginep disana. Setiap kali aku protes pasti jawabannya "kamu fokus merawat Maas saja.

Mbak Tari bener-benar menguasai Maisa. Aku sebagai ibunya kadang-kadang sampai mengemis-ngemis untuk mengendong dan menyusuinya. Bahkan setiap hari harus bolak balik ke rumah Mbak Tari untuk sekedar memeluk, mengendong dan menyusui Maisa. Ya walaupun rumahnya dekat tapi sangat melelahkan.

Setiap hari aku selalu menegur Mbak Tari supaya jangan membawa Maisa ke rumahnya. Aku memperbolehkan kapanpun Mbak Tari datang ke rumah tapi tidak dengan membawannya pulang. Tetapi tetap saja Mbak Tari tidak pernah mendengarkanku. Aku hanya takut Maisa lupa kalau aku Ibunya karena saking seringnya dengan Mbak Tari. Sampai pada suatu hari Mas Tora lah yang turun tangan.

"Mbak...hari ini dan seterusnya Mbak Tari ngak usah bawa Maisa pulang. Kalau Mbak Tari mau bermain sama Maisa di rumah saja. Kasihan Sasi harus bolak-balik. Satu lagi Mbak...beri Sasi dan Mbak Sani kebebasan untuk kapan saja mengendong dan merawat Maisa. Toh Sasi Ibunya. "kata Mas Tora tegas.

"Ya ampun...Sasi mulut nya ngak bisa dijaga...kapan aku melarangnya dan ngak memberi kebebasan. Lagi pula jarak rumah ini sama rumah Mbak juga ngak jauh cuma disebelah...lebay banget...Istrimu itu memang mulutnya tajam...Dasar wanita ular...dia ingin mengadu domba kita. Tukang fitnah. "kata Mbak Tari sambil melotot.

"Sasi tidak pernah bilang apa-apa Mbak....selama ini dia diam saja. Karena takut merusak persaudaraan kita. Aku tau ini semua dari orang lain. Jadi jangan mengkambing hitamkan Sasi. "kata Mas Tora.

"Belain terus istrimu itu...pelit banget jadi orang...masih untung ada yang ngebantuin momong anaknya. malah nuduh yang macam-macam. Maisa itu udah aku anggap anak kandungku. Bahkan aku dan Mas Imam sudah ada rencana untuk mengadopsinya. "kata Mbak Tari dengan ketus.

"Dengar ya mbak...sampai kapanpun Maisa akan tetap jadi anak kami. Kami sangat berterima kasih karena selama ini Mbak Tari sudah membantu kami merawat dan menyayangi Maisa. Mbak Tari boleh menyayanginya, Mbak Tari boleh datang kerumah kapanpun asal jangan mengadopsinya. "kata Mas Tora. 

"Dasar suami istri pelit...kalian memang jodoh. "kata Mbak Tari.

Sejak saat itu Mbak Tari benar-benar marah pada kami. Terutama kepadaku. Aku yang selama ini cuma diam jadi kena imbasnya. Mbak Tari bilang ke tetangga dan ke saudara bahwa kami pelit, Kami hanya memanfaatkan tenaganya untuk mengasuh Maisa. Aku juga difitnah telah mencuci otak Mas Tora sehingga berani kepadanya. Mbak Tari juga bilang aku wanita ular berbisa yang suka mengadu domba saudara. Setiap berpapasan denganku pasti selalu memalingkan muka.

Walaupun jadi omongan tetangga tak pernah sekalipun aku mengadu ke Mas Tora. Bahkan sampai tetangga ikut-ikutan julid kepadaku aku hanya diam saja. Aku tetap berusaha menyapa mereka terutama Mbak Tari tetapi mereka tetap diam saja.

Aku hanya bisa bersabar ketika saudara dan tetangga menjauhiku. Dan aku hanya bisa menangis ketika perkataan mereka menyakitiku. Sampai pada suatu hari Mas Tora bercerita bahwa beliau naik jabatan dan dipindah tugaskan di palembang. Aku lega karena Mas Tora mengajak kami semua pindah dan sudah menemukan rumah kontrakan yang cocok buat kami. Yang membuatku semakin lega Mbak Sani juga bersedia pindah ikut kami.

"Sasi seminggu lagi kita pindah. Untuk urusan Oulet bungamu kamu percayakan saja pada Linda sahabatmu. Mas lega akhirnya bisa membawamu kepalembang jauh dari wanita ular itu"kata Mas Tora ketus.

"Mas ngak boleh ngomong begitu. Bagaimanapun dia kakakmu. Sebenarnya Sasi kasihan dengan Mbak Tari. Dia melakukan ini semua mungkin karena sangat menginginkan momongan. Sebenarnya dia sangat menyayangi Maisa cuma caranya aja yang salah. Dia memperlakukan Maisa seolah-olah anaknya sendiri sampai -sampai lupa kalau aku ibunya. Aku tidak diperbolehkan merawat dan memegang anakku sendiri. "kataku lirih.

"Sampai kapanpun si wanita ular itu tidak akan berubah. Diluar sana dia ngomong yang tidak-tidak tentang kamu. Meskipun kamu tidak cerita tapi Mas tahu semua. Bagaimana mereka membicarakanmu dan bagaimana mereka menjauhimu. Mereka semua sudah terpengaruh omongan wanita ular itu. Mas juga tahu kamu hanya diam dan sering menangis ketika mereka menyakitimu. "kata Mas Tora.

"Ngomong-ngomong Mas tahu semuanya dari mana? dari kemarin aku penasaran ingin bertanya, padahal aku sudah melarang Mbak Sani untuk cerita ke Mas Tora. "kataku.

"Mas Tahu dari Bu RT...kebetulan mas ke tempat Pak Rt untuk titip rumah kita dan memberikan kunci rumah cadangan kepada Pak Rt. Andai kelak ada yang mau mengontrak rumah kita pak Rt tinggal menghubungi ku. Lalu Bu RT bercerita semuanya. Setelah Mas menceritakan kebenaranya Bu RT bersedia membantu membesihkan namamu. Karena selama ini Bu RT tak pernah percaya pada mulut si wanita ular itu. Mas benar-benar tidak terima seorang istri Tora Mahendra diperlakukan seperti itu"kata Mas Tora penuh emosi.

"Sudahlah Mas, seandainya mereka tetap tak percaya tidak mengapa,yang terpenting bagiku mas Tora percaya padaku. "kataku sambil memeluk erat suamiku.

Hari yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Sebelum berangkat ke bandara kami sempatkan untuk ke pusara Maysia putri kami dan tak lupa pamitan ke rumah Mbak Tari. Sepertinya Mbak Tari dan Mas Imam sedang tidak ada dirumah. Dari kemarin sore kita datang rumahnya sepi. Mas Tora berusaha menelfon Mbak Tari tetapi tidak diangkat. Akhirnya Mas Tora menelfon Mas Imam untuk berpamitan dan meminta maaf. Dengan senang hati Mas Imam memaafkan kami.

Setelah menelfon Mas Imam kami lanjut berpamitan ke tempat Pak Rt dan tetangga. Mereka malah meminta maaf karena selama ini telah percaya kepada semua cerita Mbak Tari. Kami saling berpelukan dan saling bermaaf maafan.

Dengan berat hati akhinya kami melangkah meninggalkan rumah masa kecil Mas Tora. Terlalu banyak kenangan di rumah itu. Dengan berlinang air mata kita bergandeng tangan untuk saling menguatkan. Ini semua mungkin sangat berat bagi Mas Tora karena pergi dengan keadaan tidak harmonis dengan kakak satu-satunya. Tidak bisa dipungkiri dari sorot mata Mas Tora terlihat menyimpan kesedihan walaupun mulutnya selalu berkata "wanita Ular'tetapi dilubuk hatinya yang paling dalam menyimpan perasaan sayang kepada sang kakak. Semoga saja waktu yang akan melembutkan kerasnya hati Mbak Tari dan semoga saja karena berjauhan akan muncul rasa-rasa rindu kedua saudara itu supaya saling bertukar kabar dan saling memaafkan.


Penulis:Etik Noviana

    





 


 










 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA TERLARANG

SANG PETANI

AKU INGIN BERUBAH