MIMPI BESAR SANDRA
Matahari belum sempurna terbit, suara kokok ayam jantan Mang Kadir menambah sempurna pagi ini. Aku masih saja keluar kamar, aku juga enggan mendengar pertengkaran ibu dan ayah. Topik percekcokan itu adalah aku, ayah tak pernah setuju kalau aku melanjutkan sekolah di Universitas Desainer Baju pilihan aku, aku ingin menjadi desainer terkenal, maka dari itu sejak kecil aku senang menggambar desain baju, tapi ayah ingin aku tetap sekolah di Sekolah Luar Biasa Harapan Bunda. Ya... aku adalah anak yang tidak dapat mendengar, aku hanya bisa mendengar lewat alat bantu pendengaran, bicara pun aku tak jelas. Karena cacat inilah aku bersekolah di Sekolah Luar Biasa ini, memang secara fisik aku terlihat sempurna tapi tetap saja aku tak sempurna seperti kedua kakak-kakakku (kakak Dion dan kakak Dimas). Aku anak perempuan satu-satunya di keluarga Mardika, anak yang dari dulu di harap kehadirannya tapi terlahir tak sempurna. Ya... namaku (Sandra) anak satu-satunya perempuan tapi mengalami cacat sejak lahir di keluarga Mardika.
Masih segar di ingatanku betapa ayah malu mempunyai anak seperti aku. Ayah selalu membanggakan kedua anak laki-laki dan selalu mengajak kemana ayah pergi tapi tidak denganku. Ayah menganggap aku tak pernah ada, begitu pula dengan kakak Dimas (mereka malu mempunyai anak dan adik seperti diriku). Dulu waktu kecil kakak Dimas tak pernah mau mengajak aku bermain, bahkan pula ayah tak pernah mengijinkan aku keluar rumah kecuali sekolah. Aku tak punya teman, dirumah hanya kakak Dion dan Ivan (anak Mak Ilah) yang selalu menemani aku, kakak Dion lah yang selalu membela aku ketika anak-anak komplek yang selalu mengejek aku. Ah... kakak Dion, kangen rasanya aku (kini kau jauh di Australia untuk melanjutkan sarjana nya).
Masih segar di ingatanku betapa ayah malu mempunyai anak seperti aku. Ayah selalu membanggakan kedua anak laki-laki dan selalu mengajak kemana ayah pergi tapi tidak denganku. Ayah menganggap aku tak pernah ada, begitu pula dengan kakak Dimas (mereka malu mempunyai anak dan adik seperti diriku). Dulu waktu kecil kakak Dimas tak pernah mau mengajak aku bermain, bahkan pula ayah tak pernah mengijinkan aku keluar rumah kecuali sekolah. Aku tak punya teman, dirumah hanya kakak Dion dan Ivan (anak Mak Ilah) yang selalu menemani aku, kakak Dion lah yang selalu membela aku ketika anak-anak komplek yang selalu mengejek aku. Ah... kakak Dion, kangen rasanya aku (kini kau jauh di Australia untuk melanjutkan sarjana nya).
Dok... dok.. dok (pintu kamar diketuk) ternyata yang mengetuk pintu adalah ibu, ia lalu masuk kamar aku sambil bertanya:
"Sayang kok kamu bengong, cemberut lagi? ibu tahu pasti kamu mendengar ayah dan ibu bertengkar ya...?"
"Iya, bu...? jawabku dengan bahasa isyarat".
"Ibu belum berhasil membujuk ayah supaya mengijinkan kamu untuk sekolah di desainer. Ayah masih ngotot supaya kamu tetap sekolah saja di Sekolah Luar Biasa Harapan Bunda. Sabar ya... sayang? ibu akan terus berusaha sampai ayah kamu setuju, yang penting kamu harus konsentrasi saja dengan lomba desainer baju itu, supaya kamu bisa menang dan dari hasil perlombaan itu biar dapat hadiah dan hadiah tersebut cukup lumayan besar, sayang...? (selain beasiswa kamu juga akan magang selama 3 bulan di Paris di sebuah rumah busana terkenal disana). Ibu yakin kamu akan menang sayang...? kamu harus latihan merancang baju yang luar biasa untuk membuktikan kamu lebih baik daripada peserta lainnya. Semangat Sandera, kamu pasti bisa (kamu pintar, cantik, langsing dan lagi kamu tinggi) orang lain yang tak kenal kamu pasti menyangka kamu seperti mereka".
"Ah... ibu kata-kata itulah yang selalu memotivasi aku dan yang selalu menambah rasa percaya diri sehingga aku yakin di lomba kali ini aku pasti menang. Aku harus konsentrasi dan harus aku buktikan pada semua orang bahwa anak cacat seperti aku bisa sejajar dengan orang normal lainnya. Aku harus jadi desainer yang terkenal agar ibu dan ayah aku bangga, ya... (aku harus bisa)".
Di sebuah ajang perlombaan desainer taraf internasional dan waktu pengumuman yang ku nantikan telah tiba. "Sandra Mardika" namaku disebut, mimpi rasanya. Aku tak percaya bisa mengalahkan 200 peserta lainnya yang kesemuanya orang normal tidak cacat seperti aku, aku hanya bisa menangis di pelukan ibu "terimakasih ya... Allah, terimakasih ibu" ternyata Allah Maha Adil, Allah ciptakan makhluk dengan sempurna dan dibalik kekurangan pasti ada kelebihan.
"Selamat ya..., sayang? kata ibu.Pasti ayah bangga sama kamu apalagi kakak-kakakmu, pasti mereka akan senang kalau adiknya memenangkan perlombaan tersebut".
Sesampainya di tempat parkir:
"Ayah... teriakku tak percaya (ternyata ayah dan kakak Dimas menunggu aku di tempat parkir mobil. Ayah dan kakak Dimas memeluk aku bergantian sambil memberi aku ucapan selamat)".
"Sandra... maafkan kakak Dimas ya...? selama ini kakak sudah bersikap kurang baik sama kamu dan juga kakak Dimas bangga sama adikku (sambil mengusap rambut aku)".
"Maafkan Ayah juga ya...? Sandra, ayah bangga sama kamu, ayah akan selalu dukung cita-citamu dan ayah punya kado spesial buat kamu (sambil memberikan sebuah kado warna Pink)".
"Aku menerima kado dari ayah dan langsung aku buka, rasanya tak percaya isi kado langsung aku buka ternyata isinya sebuah formulir pendaftaran di Universitas Desainer pilihan aku, terimakasih... ayah (kataku sambil menangis, ayah pun mengangguk sambil tersenyum)".
Terimakasih ya... Allah.., ternyata dibalik semua berakhir indah pada waktunya, ternyata dibalik kegelapan akan ada se cerah cahaya terang... ya.. terang.
Yogyakarta, 01 Maret 2013
penulis: Etik Noviana
Komentar
Posting Komentar