TAK HARUS MEMILIH
Aku masih menangisinya, raga yang telah terbujur kaku di hadapanku, raga yang telah tak bernyawa, raga yang semasa hidupnya selalu memberi arti dan makna dalam setiap jalan hidupku. Dari raga inilah aku belajar menjadi orang yang pantang menyerah, menjadi orang yang selalu bisa mengucap syukur atas nikmat, menjadi orang yang mau mendengarkan orang lain dan tanpa raga inilah apakah aku masih mampu menjalankan hidupku? aku masih terus menangisinya, raga nenekku yang paling aku sayangi, aku tak tau kini aku mesti tinggal dengan siapa. Ibu dan ayahku membujuk aku supaya aku memilih salah satu dari mereka untuk tinggal bersamanya tapi aku bingung aku tak mungkin memilih salah satu dari mereka, kalau boleh memilih aku ingin sekali ikut nenek meninggalkan dunia ini.
Sudah sepekan nenek meninggalkanku, ada perasaan kehilangan yang teramat sangat, aku tak mendengar lagi nasehat darinya, aku tak melihat lagi senyum pada dirinya, ya... Allah kuatkan aku, aku terpaksa tinggal sendirian tanpa teman. Namaku Ratih umur aku 19 tahun, sejak umur 6 tahun aku tinggal dengan Mbah Cipta (nenekku), kami hanya tinggal berdua. Ayah dan ibuku bercerai ketika umur aku kurang lebih 5 tahun, aku tak tau mengapa dulu mereka bercerai, yang aku tau semenjak mereka bercerai aku dititipkan ke rumah nenekku, setelah perceraian itu pula ibuku pergi keluar negeri untuk bekerja disana, sedangkan ayahku aku tak tau pergi kemana, aku masih kecil kala itu dan aku ingat betul nenekku begitu sabar menghadapi aku ketika aku rewel, nenek sangat menyayangi diriku, beliau bisa menjadi sosok seorang ayah dan ibu bagiku, nenek begitu sabar dan telaten merawat dan mendidik aku, tidak seperti orang tuaku yang egois meninggalkanku, hingga aku menjadi korban dari perceraian mereka, memang sih setiap bulan aku mendapat kiriman dari ibu dan ayahku untuk keperluanku sehari-hari dan biaya sekolahku. Tapi aku tak hanya butuh materi, aku juga butuh kasih sayang dari mereka.
Ada satu kenangan pahit yang tak dapat aku lupakan, ketika itu ibuku pulang dari luar negeri dan baru 3 bulan dirumah, ibu menikah dengan seorang laki-laki yang umurnya lebih muda dari ibu, aku dan ibu diajak tinggal bersamanya. Pada awalnya aku sangat bahagia karena ayah tiri aku sangat menyayangi diriku, setiap hari pula aku bisa merasakan kasih sayang ibu tapi sebulan kemudian lah ayah tiri aku berubah, beliau sering pulang malam dalam keadaan mabuk dan aku ingat betul malam itu ayah dengan keadaan mabuk masuk ke kamar aku dan berusaha menciumi aku serta berusaha melepas pakaianku, aku sangat ketakutan dan berteriak-teriak minta tolong. Untung ibu mendengar aku berteriak, ibu langsung menolong aku dan menampar pipi ayahku, serta membawa aku pergi kerumah nenek malam itu juga. Sejak peristiwa itu aku jadi takut ketika bertemu dengan ayah tiri aku, walaupun dulu aku tak tau ayah tiri aku ingin berbuat apa padaku tapi kini setelah usia aku 19 tahun aku baru tau kalau dulu ayah ingin melecehkan aku. Mungkin tidak semua ayah tiri didunia ini berbuat seperti ayah tiri aku tapi tetap saja aku merasa tak nyaman bila di dekatnya. Hanya dirumah nenek lah aku merasa aman dan nyaman.
Setelah peristiwa itu ayah kandung aku berusaha melindungi aku dengan mengajak aku tinggal bersamanya dan dengan keluarga barunya. Sebenarnya aku tak mau, karena ayah terus memaksa akhirnya aku ikut jaga tapi baru seminggu disana aku tak tahan karena ibu tiri aku, ia suka marah-marah. Tidak hanya denganku saja ia marah-marah tapi juga dengan 3 anaknya (hasil pernikahan dulu dengan suami sebelumnya). Aku meminta ayahku untuk mengantarkan aku kerumah nenek dan lagi menurutku rumah nenek lah yang paling aman dan nyaman untuk tempat tinggal aku, bukan rumah ayah atau ibuku.
Dan kini setelah nenek meninggal, aku jadi bingung. Aku tak mungkin tinggal sendirian, sebenarnya aku juga sangat berharap kalau aku segera bekerja di batam seperti apa yang aku nantikan selama ini dan aku tidak harus memilih tinggal dengan ayahku atau tinggal dengan ibuku. Tapi sudah sebulan aku melamar kerja di pabrik itu belum juga ada panggilan, berbagai test sudah aku jalani tapi tetap saja aku masih harus sabar menunggu.
Kedua orang tuaku masih terus membujuk aku untuk memilih tinggal dengan salah satu dari mereka, ibu berusaha memastikan aku "bahwa ayah tiri aku telah berubah, beliau tidak lagi suka mabuk", begitu pula dengan ayahku, ayah merayu aku mati-matian supaya aku mau tinggal dengannya, kata ayah "ibu tiri aku sudah berubah beliau tak lagi suka marah-marah". Tapi aku tetap saja tak dapat memilih satu dari mereka. Bukanya aku tak percaya dengan ayah tiri atau ibu tiri aku, tapi batin ini lebih tenang tinggal dirumah nenek walaupun hanya tinggal sendirian dan hanya ditemani kenangan nenek tercinta.
Siang yang panas, matahari serasa berada tepat diatas kepalaku, aku masih duduk bengong di teras depan, lamunan aku buyar karena kedatangan pak pos yang mengantar surat, aku sudah tak sabar membukanya, ternyata surat itu, surat panggilan kerja dari Batam. Aku sangat bahagia, akhirnya impian aku selama ini jadi kenyataan juga, aku bisa mandiri tanpa merepotkan siapa-siapa, terimakasih ya... Allah... akhirnya aku bisa mewujudkan impian nenek untuk memperbaiki rumah ini dengan uang hasil jerih payahku nanti, terimakasih ya... Allah... akhirnya aku tak harus memilih tinggal dengan ayah atau ibuku.
Yogyakarta, 29 Maret 2013
penulis: Etik Noviana
Sudah sepekan nenek meninggalkanku, ada perasaan kehilangan yang teramat sangat, aku tak mendengar lagi nasehat darinya, aku tak melihat lagi senyum pada dirinya, ya... Allah kuatkan aku, aku terpaksa tinggal sendirian tanpa teman. Namaku Ratih umur aku 19 tahun, sejak umur 6 tahun aku tinggal dengan Mbah Cipta (nenekku), kami hanya tinggal berdua. Ayah dan ibuku bercerai ketika umur aku kurang lebih 5 tahun, aku tak tau mengapa dulu mereka bercerai, yang aku tau semenjak mereka bercerai aku dititipkan ke rumah nenekku, setelah perceraian itu pula ibuku pergi keluar negeri untuk bekerja disana, sedangkan ayahku aku tak tau pergi kemana, aku masih kecil kala itu dan aku ingat betul nenekku begitu sabar menghadapi aku ketika aku rewel, nenek sangat menyayangi diriku, beliau bisa menjadi sosok seorang ayah dan ibu bagiku, nenek begitu sabar dan telaten merawat dan mendidik aku, tidak seperti orang tuaku yang egois meninggalkanku, hingga aku menjadi korban dari perceraian mereka, memang sih setiap bulan aku mendapat kiriman dari ibu dan ayahku untuk keperluanku sehari-hari dan biaya sekolahku. Tapi aku tak hanya butuh materi, aku juga butuh kasih sayang dari mereka.
Ada satu kenangan pahit yang tak dapat aku lupakan, ketika itu ibuku pulang dari luar negeri dan baru 3 bulan dirumah, ibu menikah dengan seorang laki-laki yang umurnya lebih muda dari ibu, aku dan ibu diajak tinggal bersamanya. Pada awalnya aku sangat bahagia karena ayah tiri aku sangat menyayangi diriku, setiap hari pula aku bisa merasakan kasih sayang ibu tapi sebulan kemudian lah ayah tiri aku berubah, beliau sering pulang malam dalam keadaan mabuk dan aku ingat betul malam itu ayah dengan keadaan mabuk masuk ke kamar aku dan berusaha menciumi aku serta berusaha melepas pakaianku, aku sangat ketakutan dan berteriak-teriak minta tolong. Untung ibu mendengar aku berteriak, ibu langsung menolong aku dan menampar pipi ayahku, serta membawa aku pergi kerumah nenek malam itu juga. Sejak peristiwa itu aku jadi takut ketika bertemu dengan ayah tiri aku, walaupun dulu aku tak tau ayah tiri aku ingin berbuat apa padaku tapi kini setelah usia aku 19 tahun aku baru tau kalau dulu ayah ingin melecehkan aku. Mungkin tidak semua ayah tiri didunia ini berbuat seperti ayah tiri aku tapi tetap saja aku merasa tak nyaman bila di dekatnya. Hanya dirumah nenek lah aku merasa aman dan nyaman.
Setelah peristiwa itu ayah kandung aku berusaha melindungi aku dengan mengajak aku tinggal bersamanya dan dengan keluarga barunya. Sebenarnya aku tak mau, karena ayah terus memaksa akhirnya aku ikut jaga tapi baru seminggu disana aku tak tahan karena ibu tiri aku, ia suka marah-marah. Tidak hanya denganku saja ia marah-marah tapi juga dengan 3 anaknya (hasil pernikahan dulu dengan suami sebelumnya). Aku meminta ayahku untuk mengantarkan aku kerumah nenek dan lagi menurutku rumah nenek lah yang paling aman dan nyaman untuk tempat tinggal aku, bukan rumah ayah atau ibuku.
Dan kini setelah nenek meninggal, aku jadi bingung. Aku tak mungkin tinggal sendirian, sebenarnya aku juga sangat berharap kalau aku segera bekerja di batam seperti apa yang aku nantikan selama ini dan aku tidak harus memilih tinggal dengan ayahku atau tinggal dengan ibuku. Tapi sudah sebulan aku melamar kerja di pabrik itu belum juga ada panggilan, berbagai test sudah aku jalani tapi tetap saja aku masih harus sabar menunggu.
Kedua orang tuaku masih terus membujuk aku untuk memilih tinggal dengan salah satu dari mereka, ibu berusaha memastikan aku "bahwa ayah tiri aku telah berubah, beliau tidak lagi suka mabuk", begitu pula dengan ayahku, ayah merayu aku mati-matian supaya aku mau tinggal dengannya, kata ayah "ibu tiri aku sudah berubah beliau tak lagi suka marah-marah". Tapi aku tetap saja tak dapat memilih satu dari mereka. Bukanya aku tak percaya dengan ayah tiri atau ibu tiri aku, tapi batin ini lebih tenang tinggal dirumah nenek walaupun hanya tinggal sendirian dan hanya ditemani kenangan nenek tercinta.
Siang yang panas, matahari serasa berada tepat diatas kepalaku, aku masih duduk bengong di teras depan, lamunan aku buyar karena kedatangan pak pos yang mengantar surat, aku sudah tak sabar membukanya, ternyata surat itu, surat panggilan kerja dari Batam. Aku sangat bahagia, akhirnya impian aku selama ini jadi kenyataan juga, aku bisa mandiri tanpa merepotkan siapa-siapa, terimakasih ya... Allah... akhirnya aku bisa mewujudkan impian nenek untuk memperbaiki rumah ini dengan uang hasil jerih payahku nanti, terimakasih ya... Allah... akhirnya aku tak harus memilih tinggal dengan ayah atau ibuku.
Yogyakarta, 29 Maret 2013
penulis: Etik Noviana
Komentar
Posting Komentar