IBU

Malam sebentar lagi berganti pagi,udara yang masih saja dingin bagaikan menusuk kedalam sumsum tulangku, bunyi hujan gerimis dan suara kodok yang bersaut-sautan laksana alunan musik alami malam ini.ku lirik jam dinding,hampir jam setengah empat pagi. Aku masih saja terisak-isak menangis meratapi nasibku, nasib buruk yang menimpaku dan anak-anakku. Aku berusaha menenangkan diri, mungkin segelas teh hangat bisa sedikit menenangkan ku,ku langkahkan kakiku menuju dapur.

Belum sampai dapur, aku mendengar suara isak tangis ibu, ku belok kan kakiku menuju kamar ibu. Didepan kamar ibu, aku melihat ibu berdoa sambil menangis,aku mendengar ibu mendoakan kami anak-anaknya serta cucu-cucunya. Betapa mulianya hati ibuku,di sepertiga malam ini, disaat orang-orang masih terlelap,ibu masih saja melaksanakan kewajibannya kepada sang pencipta, ibu tak pernah meninggalkan sholat sunah tahajud nya, ibu tak pernah lupa mendoakan anak dan cucunya, walaupun kadang aku lupa untuk mendoakan nya.

Tak terasa air mataku menetes membasahi pipi, masih segar di ingatanku betapa dulu aku durhaka kepada ibu, aku sering menyakiti hatinya, aku tak pernah mendengarkan nasehat nya, bahkan kata-kata kasar sering aku ucapkan padanya (anak macam apa aku). Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara namaku Mutiara dan kedua adikku Intan dan Berlian. Ya.. kami semua perempuan, kadang-kadang aku heran kenapa nama kami seperti itu tapi nama adalah sebuah doa, mungkin ke dua orang tuaku menaruh harapan supaya anaknya cantik bersinar seperti mutiara, intan dan berlian. Dan benar saja, aku memang cantik bahkan paling cantik diantara ke dua saudaraku. Tak susah bagiku untuk mencari kekasih hati, sudah tak terhitung berapa banyak mantan kekasih ku, aku sang petualang cinta (ya ... ku akui itu). Aku tak pernah setia, bahkan sering mendua, aku sering merebut pacar teman dan sahabatku sendiri. Bahkan tak jarang mereka sampai melabrakku dirumah, ibu akan langsung memarahi ku tapi aku tak peduli, bahkan aku langsung membentak beliau, kalau sudah begitu ibu hanya bisa menangis.

Betapa egoisnya aku kala itu, aku selalu menuntut ibu memenuhi semua kebutuhanku yang glamour karena pergaulan ku di kampus. Aku yang seorang mahasiswi malu bila penampilannya biasa saja. Aku tak peduli mampu atau tidak ibu untuk memenuhinya. Ibu yang hanya seorang penjual buah di pasar, harus banting tulang memenuhi kebutuhan kami, memang sih ibu setiap bulannya mendapat pensiunan dari ayah yang dulu seorang guru.semasa hidupnya Ayah pekerja keras,setelah mengajar di sekolah ayah megajar les murid-muridnya dirumah, Ayahku meninggal disaat aku semester empat dan ketika itu Intan masih SMA sedangkan Berlian masih SMP, kami sedang butuh banyak biaya sehingga uang pensiunan ayah tak cukup untuk kami ber empat Bahkan setelah lulus SMA Intan tak kuliah, ia lebih memilih bekerja di salon demi membantu perekonomian keluarga.

Kakak macam apa aku ini? harusnya lulus kuliah aku bekerja dan membantu perekonomian keluarga tapi tidak denganku, aku malah memilih menikah dengan Toni teman kampusku. Toni anak orang kaya, dia sangat keren dan juga dia idola dikampus, aku sangat mencintainya. Semula ibu tak setuju,karena ibu berharap aku bekerja dulu dan mewujudkan impianku dan jangan buru-buru menikah tapi aku tetap bersikeras untuk menikah padahal waktu itu Tonipun belum bekerja.Setelah menikah,Toni memboyong ku ke Jakarta. Kehidupan ku baik-baik saja dan aku sangat bahagia, Toni mulai bekerja. Bahkan kehidupan ku bergelimpangan harta,kebahagiaanku kian bertambah ketika aku melahirkan putra kembarku Daffa dan Daffi,tapi kebahagiaanku tak berlangsung lama, Toni mulai berubah. Ia jadi sering marah-marah,bahkan ringan tangan,bila sedang cekcok tak sedikit bogem mentah mendarat ke mukaku, aku di jambak, ditendang, diumpat bahkan perlakuan kasar itu dilakukannya dihadapan anak-anakku. Betapa bejatnya dia, tidakkah akan menimbulkan rasa trauma bagi kedua putraku.

Akhirnya aku putuskan bercerai dengan Toni dan pulang kerumah ini, sebenarnya aku malu, sangat malu sama ibu,karena selama aku dijakarta dan hidup bergelimang harta tak sedikitpun aku mengirim uang kepada ibu,setidaknya untuk meringankan beban beliau dan membantu biaya sekolah Berlian waktu itu,sungguh aku sangat malu sekali,tapi mau bagaimana lagi tak ada pilihan lain, mau tinggal dimana aku dan anak-anakku selain pulang ke rumah ini.Baru pagi tadi aku sampai dirumah ini, rumah yang sudah sangat berubah. Aku masih teringat masa itu, dimana ibu meminta bantuanku merenovasi rumah ini tapi tak sepeser pun aku mengirimkan uangku. Aku tak peduli bila hujan, rumah ini bocor dimana-mana, aku tak peduli dengan ibu yang tinggal seorang diri. Aku tak pernah pulang semenjak menikah dengan Toni, aku anak yang pelit dan egois tidak seperti Intan dan Berlian. Intan anak yang mandiri, dia punya salon dan suaminya punya usaha mebel. Kehidupan mereka sangat bahagia dan harmonis,Intan baru saja dikaruniai seorang putri yang cantik, sedangkan Berlian adik bungsu ku bekerja di Taiwani, Intan dan Berlian lah yang membangun rumah ibu hingga menjadi sebesar dan sebagus ini.setiap bulan mereka juga mengirim uang kepada ibu,bahkan setiap akhir pekan Intan datang menjenguk ibu,sebenarnya Intan meminta ibu ikut tinggal dengannya karena kasihan ibu harus tinggal sendiri,tapi ibu tidak mau meninggalkan rumah ini karena banyak kenangan yang ada dirumah ini, Aku malu, benar-benar malu mendengar cerita ibu pagi tadi,dari sorot mata ibu terlihat betapa bangganya ibu mempunyai anak seperti Intan dan Berlian,mau ditaruh dimana mukaku ini  bila suatu hari nanti  aku bertemu dengan kedua adikku.yang pastinya aku akan meminta maaf kepada mereka dan menyambung tali silaturahmi yang sempat terputus.

Isak tangis ku semakin keras, air mataku semakin deras membasahi pipi, hingga isak tangis ku mengganggu ibu berdoa. Ibu menghampiri ku seraya memeluk ku
"Tiara kamu kenapa, nak? kok menangis", kata ibu sambil membelai rambut ku.
"Maafkan Tiara, bu?" kataku sambil bersujud ,'Tiara tak pernah turuti nasehat ibu, dari dulu hingga kini Tiara masih saja merepotkan ibu,Tiara benar-benar malu,bu!"kataku sambil terisak isak.
"Sudahlah nak, ibu sudah memaafkan kamu,mungkin ibu juga pernah berbuat salah sama kamu, ibu juga minta maaf, maafkan ibu ya!Ayo Tiara ambil air wudlu, bersegeralah sholat sunah tobat sebelum subuh tiba, kata ibu."
"Iya bu jawabku."sambil ku peluk ibu erat-erat,batinku berkata terbuat dari apa hati wanita yang ku peluk ini,hatinya sungguh mulia,anaknya sudah durhaka tetapi masih saja memaafkanya.

Di keheningan malam ini akhirnya aku bersujud, tenang rasanya batin ini bila selalu mengingat mu ya Robb. Aku berjanji akan menjadi Tiara yang baru, Tiara yang selalu menuruti kata-kata ibu,Tiara yang akan selalu membahagiakan ibu. Dan aku selalu berdoa semoga Allah senantiasa memberi kesehatan dan umur panjang kepada ibuku,agar aku masih diberi kesempatan membahagiakanya,sampai suatu saat aku mendengar satu kata "ibu bangga mempunyai anak sepertimu Tiara".



                                                                                      Yogyakarta, 25 Maret 2013



                                                                                          penulis: Etik Noviana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA TERLARANG

SANG PETANI

AKU INGIN BERUBAH