BRIAN SANG PEJUANG


Aku tak tahu sanggupkah aku bertahan hidup di desa ini.Sebuah desa di kaki gunung.Semua serba tak ada.Tak ada mall, bioskop dan kafe.Jangankan kafe,warung saja bisa dihitung dengan jari.Kaget rasanya.Semuanya jauh dari apa yang aku bayangkan.Aku kira tempatku KKN tak sekampung ini.Kemana-mana harus jalan kaki karena jalannya naik turun dan menikung.Padahal kalau dirumah mau kemana-mana pakai motor atau pakai mobil.Tidak seperti disini.Memang ada beberapa penduduk yang berani naik turun dengan motor atau sepeda tapi itu berlaku bagi yang sudah menguasai medan..Nasib... nasib... Tak hanya aku saja yang menggerutu tapi semua teman-temanku.

Namaku Brian.Aku dan ke 5 temanku baru saja sampai di desa ini.Sebuah desa yang sangat terpencil dan mayoritas penduduknya bertani.Kami KKN di kampung ini selama 2 bulan.Kami tinggal dirumah bapak RT Pak Sanun.Meskipun rumah bapak RT sederhana tapi menurutku cukup nyaman untuk kita tempati.

Malam ini adalah malam pertama aku tidur di desa ini.Tetapi entah mengapa mataku tak juga terpejam.Ku lirik teman-teman disebelahku mereka sudah tertidur pulas.Mungkin mereka capek berjalan seharian.Padahal ini baru jam setengah delapan malam.Biasanya kalau dirumah mereka begadang sampai pagi.Daripada bengong sendirian kuputuskan untuk keluar kamar menuju teras.Siapa tahu Pak Sanun belum tidur dan bisa ku ajak mengobrol.Tapi sesampainya di teras teryata sepi.

Aku duduk sendirian ditemani suara jangkrik yang seolah-olah sedang paduan suara.Dan dengan jaket tebal dan berselimut sarung kakiku ku tekuk agar kain sarung menutupi kakiku yang sedari tadi sudah dingin.Kulemparkan pandanganku ke sekeliling rumah pak Sanun tapi yang nampak hanya gelap karena minim cahaya.Tiba-tiba pandanganku tertuju ke satu titik dari kejauhan nampak cahaya senter menyala dan ada dua sosok bayangan putih nampak begitu nyata.Bulu kudukku seketika berdiri. Sebenarnya aku ingin berlari, tapi karena rasa penasaran, ku urungkan niat ku dan tetap bertahan di sini.Bayangan itu semakin lama semakin jelas dan semakin mendekat.Jantungku semakin berdetak kencang.Kedua sosok tadi semakin mendekat.Sesampainya dibawah lampu ternyata dua sosok tadi adalah dua gadis memakai mukena putih.Teryata mereka bukan setan seperti yang aku takut kan.Salah satu dari gadis itu berwajah cantik.Aku berusaha menyapanya dan si cantik hanya tersenyum malu.Rupanya mereka baru pulang  mengaji.

Aku penasaran dengan gadis yang ku kira hantu tadi malam.Kenapa aku lupa berkenalan dengannya.Aku bertanya pada Pak Sanun tapi tampaknya beliau tak tahu.Atau jangan-jangan gadis  semalam itu benar-benar hantu hiii tiba-tiba bulu kudukku berdiri lagi.Tapi ya... sudahlah aku harus fokus dengan kegiatan ku disini.Aku tak boleh terlalu memikirkan gadis itu.Aku senang ternyata warga di kampung ini ramah-ramah.Mereka menerima kami dengan tangan terbuka.Kami mulai kerasan tinggal di kampung ini hingga tak terasa sudah sepekan kami tinggal disini.

Pagi ini aku dan temanku pergi ke pasar ingin membeli kebutuhan sehari-hari.Kami diantar Anto anak pak Sanun.Kami berjalan beriringan dan sambil bersendau gurau menikmati setiap berjalanan.Setelah menempuh perjalanan naik turun bukit akhirnya kami sampai di pasar ini.Karena pasar ini adalah pasar satu-satunya maka tak heran kalau ramai dan penuh sesak.Kami semua sampai terpencar pisah-pisah.Tinggal aku sendirian.Karena saking berdesak desakan sampai-sampai ada seorang ibu yang jatuh dengan barang bawaannya yang berat.Aku berusaha menolong ibu itu dan membantunya berdiri tetapi rupanya ibu itu tak sanggup untuk jalan karena kakinya keseleo.Karena kasihan aku memutuskan mengantar ibu itu pulang ke rumahnya.Aku memapahnya sampai rumahnya dengan jalan kaki.Disepanjang jalan kami bercerita dan Ibu tersebut memperkenalkan diri.Nama beliau adalah Ibu Sri.Beliau memang setiap hari ke pasar untuk menjual gula mereh buatannya.Biasanya beliau di temani suaminya tetapi karena hari ini suaminya sedang pergi ke kota akhirnya beliau berangkat sendiri. Rupanya rumah beliau tak terlalu jauh dari pasar.Sehingga tak butuh waktu lama untuk sampai di rumahnya.

Sesampainya di rumah beliau.Bu Sri mengajak ku masuk dan memanggil anaknya untuk disuruh membuatkan minum.Betapa terkejut aku,ternyata anak Ibu Sri adalah gadis cantik yang pernah aku lihat malam itu.Kata Bu Sri gadis tersebut bernama Lathifa dan biasa di panggil Thifa. Aku langsung menyapanya dan mengajak kenalan tetapi gadis itu hanya tersenyum dan pergi begitu saja.Betapa kecewanya aku.Bu Sri meminta maaf atas perlakuan putrinya.Putrinya memang pemalu.Dan tak henti-hentinya Ibu Sri mengucapkan terima kasih padaku.

Aku masih penasaran dengan Thifa.Berbagai cara aku lakukan supaya dapat bertemu dengannya. Dengan alasan menengok ibu Sri atau belajar membuat gula merah dari beliau aku datang ke rumah Thifa.Pokoknya seribu satu alasan aku lakukan supaya aku bisa dekat dengannya.Lambat laun aku mulai dekat dengan Thifa.Thifa memang gadis yang pemalu.Kalau berbicara selalu menunduk.Bahkan dia tidak mau mengobrol kalau hanya berdua denganku.Thifa memang gadis yang berbeda.

Kata Bu Sri putrinya begitu karena didikan Bapaknya.Thifa  hidup dilingkungan religius dan apalagi Bapak Thifa tegas dan galak.Tak ada laki-laki yang berani mendekati Thifa karena takut dengan Bapaknya.Nyaliku seketika jadi ciut belum juga ketemu sudah keder duluan.Tapi aku harus berjuang menaklukkan hati Bapak Thifa.Gadis ini patut aku perjuangkan karena dia beda dengan gadis-gadis lainnya yang pernah aku kenal.

Ketika tidak ada kegiatan aku main ke rumah Thifa.Dan hari ini hari yang tak terduga olehku.Ternyata Bapak Thifa baru pulang dari kota.Beliau menemui ku.Rasanya jantung ini mau copot saja.Ternyata yang dikatakan ibu Sri benar.Bapak Thifa bersikap tegas, berwibawa, bahkan terkesan galak ,tapi aku tak boleh menyerah, aku harus tetap berjuang mendapatkan Thifa.

Aku tak kurang akal.Setiap datang ke rumah Thifa. aku menemui Bapaknya dan minta diajari belajar membaca Alquran supaya bisa lebih akrab dengan beliau.Mulanya Bapaknya menolak tapi karena ibu Sri merayu, akhirnya beliau bersedia juga mengajari ku mengaji.Aku senang sekali ibu Sri mau membantu dan mendukung ku.Memang sedari awal ibu Sri setuju kalau aku dekat dengan anaknya.Ya walaupun bapaknya terkesan masih tidak suka padaku tetapi aku akan terus berusaha.

Sudah sepekan aku tak datang ke rumah Thifa.Selain sibuk dengan kegiatan.Aku juga sibuk merawat Abdul temanku yang sakit.Sudah beberapa hari Abdul sakit.Dan hari ini aku mengantarnya ke rumah sakit.Aku mengantar Abdul dengan ojek,Karena disini medannya tak mungkin dilewati mobil.Perjalanan kami cukup jauh karena rumah sakit berada di pinggir kota.Abdul harus opname karena terkena demam berdarah.Ketika aku akan mengurus ke pendaftaran tiba-tiba ada pasien korban kecelakaan, seorang laki-laki muda. Pasien itu kelihatannya kehilangan darah banyak darah dan harus tranfusi darah.Dokter kelihatanya panik karen persediaan darah dirumah sakit tersebut tak ada yang sama. Aku tanyakan kepada perawat apa golongan darah lelaki tersebut.Ternyata golongan darahnya sama denganku.Timbul rasa kasihan dan karena dorongan kemanusiaan akhirnya aku putuskan untuk mendonorkan darahku.Aku memang sudah terbiasa donor darah.Walaupun aku tak pernah tau siapa laki-laki itu.Yang penting bagiku laki-laki itu selamat.

Sore ini aku bersiap untuk kembali ke desa karena keluarga abdul sudah datang untuk menemaninya.Belum sempat keluar kamar aku di kejutkan oleh seorang perawat yang mencari ku.Kata perawat itu keluarga pasien kecelakaan kemarin mencari ku.Mereka ingin mengucapkan terima kasih kepadaku.Aku buru-buru menemuinya dan ternyata betapa kagetnya aku, ternyata keluarga pasien itu adalah Bu Sri sekeluarga.Aku benar-benar terkejut.Ternyata pula laki-laki yang kecelakaan itu adalah Anas kakak kandung Thifa.Mereka mengucapkan terimakasih padaku.Aku masih tak percaya dunia tak selebar daun kelor.

Tak terasa sudah 2 bulan berlalu.Inilah saat-saat yang paling aku benci.Aku harus meninggalkan desa ini.Rasanya tak sanggup aku meninggalkan Thifa dan kampung ini.Rasanya aku ingin tinggal disini selamanya.Tapi bagaimana mungkin.Aku harus tetap melanjutkan pendidikan ku supaya cepat tercapai cita-cita ku menjadi seorang Dokter.Ku langkahkan kakiku menuju rumah Thifa untuk berpamitan.Batin ini menangis pilu ketika melihat Thifa berlinang air mata.Begitu pula ketika aku melihat ibu Sri menangis haru sambil memeluk ku. Anas juga tak kalah sedih melepas kepergianku.Tapi sungguh diluar dugaan,Bapak Thif memeluk ku sambil berkata "jemput Thifa nak Brian! ketika kamu sudah menjadi Dokter suatu saat nanti".Aku serasa tak percaya mendengar perkataan Bapak Thifa, akhirnya beliau memberi restu.Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada beliau dan berjanji akan menjemput Thifa ketika menjadi Dokter nanti.Inilah buah dari perjuangan ku dan kesabaranku untuk mendapatkan restu itu.Kelak ketika menjadi Dokter aku ingin sekali mengabdi disini.Tak ada yang bisa membahagiakan ku selain bersama Thifa selalu dan selamanya.



                                                                                      Yogyakarta, 01 April 2013



                                                                                          Penulis: Etik Noviana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA TERLARANG

SANG PETANI

AKU INGIN BERUBAH